Tentang Kereta, Perjalanan, dan Kampung Halaman
Dari sekian banyak perjalanan dengan kereta yang pernah saya tempuh, baru-baru ini saya sadar, bahwa perjalanan bukan sekadar berpindah tempat, tapi menciptakan momen-momen sederhana yang mungkin akan terus melekat.
Tentu saya tidak sedang membayangkan film Train to Busan atau Last Passanger ketika mengatakannya. Saya sedang membayangkan adegan-adegan sederhana seperti duduk di kursi yang nyaman, menoleh ke jendela, menikmati pemandangan, meminum secangkir kopi hangat serta menamatkan buku untuk membunuh rasa bosan.
Cerita saya dengan kereta di mulai tahun 2015 lalu. Saat ketika saya harus pindah dari Semarang ke Jakarta. Berada jauh dari orangtua menjadikan saya harus bolak balik Jakarta- Semarang kurang lebih 3 kali dalam setahun.
Saya salah seorang penderita asam lambung dan kewalahan jika harus naik mobil maupun bus dan dari sekian banyak pilihan transportasi, kereta api menjadi pilihan tepat karena selain ramah di kantong juga aman untuk lambung. Dari situlah saya mulai berkawan baik dengan kereta api khususnya gerbong ekonomi.
Bulan Agustus 2024 lalu saya kembali pulang untuk menjenguk orangtua di Semarang. Rupanya pertemuan lebaran sebelumnya belum cukup untuk menamatkan kerinduan.
Setelah Epictoto hunting tiket dengan mempertimbangkan jam keberangkatan dan kedatangan, akhirnya saya memutuskan membeli tiket ekonomi Tawang Jaya premium yang berangkat dari stasiun Pasar Senen menuju ke Semarang Poncol.
Berbeda dari biasanya, setelah masuk kereta saya justru bingung. Kok sepertinya saya salah naik kereta, ya? Tanpa berpikir lebih panjang, saya pun menghampiri petugas yang tengah berjaga.
“Pak, ini benar ekonomi Tawang Jaya Premium? tanya saya.
“Betul, Bu!” balas si petugas tanpa ragu.
Saya terkejut karena bukan seperti ini seharusnya kereta ekonomi Tawang Jaya Premium yang biasa saya naiki. Vibesnya berbeda sekali, lebih seperti gerbong eksekutif, bahkan sepertinya jauh lebih bagus.
Kursinya berwarna biru gelap dan terasa lebih nyaman. Plafonnya terlihat lebih estetik dengan lampu memanjang warna kuning keorenan. Terlihat lebih bersih, modern, elegan dan ergonomis. Tak heran kan, jika saya mengira salah masuk gerbong?
Kereta melaju dengan kecepatan bertahap, dinginnya air conditioner lamat-lamat membuat saya ingin ke toilet untuk buang air kecil. Semua sepakatlah, kalau soal buang air kecil -dalam perjalanan kereta ekonomi- bukan hal yang menyenangkan. Sayangnya, Itu sudah menjadi kebutuhan yang mau tak mau harus saya lakukan.
Sampai di toilet lagi-lagi saya terkejut. Toiletnya bersih, estetik dan elegan. Saking bagusnya saya sampai lupa mau buang air kecil dan malah berfoto-foto ria, ha ha.
Selama perjalanan, saya sok-sokan menjadi anak senja, mengambil teh, menyeruput lalu memotretnya. Ketika bosan saya akan membaca buku atau memandang ke luar jendela sembari mendengarkan lagu-lagu Bernadya.
Ternyata, dengan kenyamanan perjalanan terasa lebih menyenangkan. Owh begini to rasanya naik kereta sultan, batin saya.
Saya jadi paham, kalau rasa nyaman lebih memudah mengikat kenangan. Buktinya, semua hal yang terjadi di kereta kala itu masih terbayang hingga sekarang. Tentang lagu-lagu yang saya dengarkan, buku yang saya baca, hijaunya pemandangan hingga aroma Pop Mie yang hilir mudik menuju ke gerbong lain.
Setelah menempuh jarak kurang lebih 6 jam, akhirnya saya tiba di Semarang dengan menghimpun banyak pertanyaan. Kenapa ya tiba-tiba ada kereta ekonomi seestetik itu?
Setelah saya cari tahu ternyata kereta yang saya naiki adalah kereta ekonomi Tawang Jaya New Generation modifikasi dari KAI.
Setahun belakangan KAI memang sedang gencar meng-upgrade kereta ekonomi komersial yang berkursi tegak menjadi New Generation. Contoh yang sudah di-upgrade di antaranya; Jaya Baya, Dharmawangsa, Majapahit, Logawa, Menoreh, Jaka Tingkir, Progo dan lain sebagainya.
Para pengguna kereta juga patut bangga dan berbahagia, karena kabar baiknya, KAI saat ini juga sedang menargetkan 100 kereta ekonomi New Generation hingga tahun 2026.
Untuk Tawang Jaya premium yang saya naiki waktu lalu rupanya bersifat sementara, hanya dari 16 Juli hingga 16 Agustus 2024 saja. Sungguh kebetulan yang sangat langka, bukan? Dari seluruh tanggal dan hari, saya -si pengguna ekonomi tulen ini- tanpa sengaja bisa mencicip nyamannya naik kereta New Generation dari KAI.
Tapi kalau dipikir-pikir, beberapa tahun belakangan memang banyak yang berubah dari KAI. Hal itu mulai saya sadari ketika menemukan ruang baca di salah satu sudut Stasiun Pasar Senen. Sebagai book lovers, saya tentu girang bisa menghabiskan waktu dengan membaca buku sembari menunggu kereta tiba.
Ada lagi yang membahagiakan, saya juga menemukan tempat isi ulang air minum gratis (water refill station) tak jauh dari pojok baca tadi. Ini adalah bukti bahwa selain berfokus kepada kenyamanan pelanggan, KAI juga peduli dengan lingkungan. Salah satunya, mendorong masyarakat untuk membawa botol minum sendiri.
Awalnya saya berpikir, mengapa pulang kampung belakangan ini terasa lebih nyaman, ya? Rupanya itu tak lepas dari upaya KAI dalam bertransformasi menjadi lebih baik.
Tentu semua ini juga tak lepas dari sosok kepemimpinan seorang Didiek Hartantyo, direktur utama KAI yang ingin kereta api di negeri ini menjadi lebih keren dan lebih baik lagi.
Berbagai upaya dilakukan, berbagai program dicanangkan. Mulai dari penerapan check in menggunakan teknologi face recognation untuk kemudahan penumpang, upgrade gerbong menjadi New Generation, menghadirkan kereta Panoramic, kereta Compartment Suit Class dan Luxury hingga penambahan fasilitas-fasilitas yang tersedia di stasiun seperti toilet yang ramah untuk teman disabilitas, ruang laktasi dan masih banyak lagi. Semua dilakukan agar pengguna kereta apim erasa lebih nyaman.
Rasanya rutinitas pulang kampung dengan kereta api menjadi hal yang menyenangkan. Mulai dari berangkat, selama dalam perjalanan hingga sampai ke stasiun tujuan. Apalagi yang bisa saya katakan selain rasa terima kasih yang mendalam. Semua ini membuat saya merasa jarak Jakarta–Semarang menjadi lebih dekat dan hangat.