Pencegahan dan Perlindungan Hukum

Pencegahan dan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Sekstorsi

Sekstorsi merupakan sebuah istilah yang mungkin terdengar asing bagi masyarakat Indonesia berdasarkan data, Indonesia menempati urutan pertama banyaknya terjadi kasus Sekstorsi di Asia, dimana berdasarkan presentasi itu mencapai 18 persen pada tahun 2020 menurut Global Corruption Watch. Sekstorsi atau sextortion adalah sebuah tindakan kekerasan berbasis gender online yang dimana tindakan ini dilakukan oleh pelaku dengan cara memeras korban terlebih dahulu baik secara materil dan seksual disertai dengan ancaman dari pelaku yang akan menyebarluaskan konten pornografi milik korban, yang dimana konten pornografi yang didapatkan si pelaku ini dengan memperdaya atau mengancam korban dengan cara menggunakan metode hacking. Korban dari kejahatan Sekstorsi ini kebanyakan terjadi kepada anak, dimana dimana nantinya korban sekstorsi biasanya akan menuruti kemauan pelaku dengan harapan bahwa foto ataupun video pribadi mereka yang mengandung unsur pornografi mereka tidak akan disebarluaskan, namun pada kenyataannya banyak dari pelaku tetap akan menyebarluaskan foto atau video tersebut.

Sekstorsi Epictoto bisa dikatakan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi dari korban, hal ini bisa dilihat dalam Pasal 28G Ayat (1) Undang – Undang Dasar NRI Tahun 1945, dimana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Sekstorsi dikatakan melanggar hak asasi, dikarenakan korban sekstorsi ini nantinya akan merasakan perasaan ketidaknyamanan diri yang disebabkan oleh rasa takut dan juga rasa malu apabila nantinya pelaku menyebarkan foto atau foto atau video yang mengandung unsur pornografi tersebut.

Kejahatan Sekstorsi ini juga melanggar instrumen hukum internasional yaitu ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), yang merupakan sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengukuhkan HAM di bidang sipil dan politik, kejahatan sekstorsi ini melanggar Pasal 27 ICCPR yang dimana perjanjian ini telah disahkan melalui Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak – Hak Sipil dan Politik), dimana pasal tersebut menyatakan bahwasannya “tiada seorang pun yang dapat dikenakan perlakuan yang merendahkan martabat”. Yang dimana tindakan dari pelaku tersebut merupakan tindakan pelecehan yang bertujuan untuk merendahkan martabat korban dengan melakukan penyebaran foto atau video yang mengandung unsur pornografi.

PENCEGAHAN SEKSTORSI

Pencegah Sekstorsi ini sangat penting mengingat bahwa Indonesia pernah menduduki urutan pertama di Asia mengenai banyak terjadinya kasus sekstorsi di Indonesia, dimana proses pencegahan ini merupakan langkah awal dan juga langkah yang sangat penting dalam mengurangi dan juga menghindari terjadinya kekerasan berbasis gender yang semakin marak terjadi di era digital saat ini. Seperti yang sudah dibahas tadi bahwa sekstorsi ini merupakan tindakan pemerasan dengan ancaman penyebaran konten yang mengandung unsur pornografi, yang dapat menimpa siapa saja baik itu laki – laki atau perempuan meskipun biasanya didominasi oleh perempuan, dan juga baik terjadi ke anak – anak atau orang dewasa sekalipun, sehingga proses pencegahan ini juga dilakukan secara komprehensif yang melibatkan individu, komunitas, dan kebijakan hukum yang kuat.

Pertama, pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan melalui pendekatan individu, dimana salah satu cara untuk mencegah terjadinya kejahatan ini dengan melalui pendekatan individu, yang bisa dilakukan dengan pendidikan dan juga kesadaran tentang kejahatan sekstorsi ini. Dan juga pendidikan tentang penggunaan media sosial, agar tidak sembarangan mengunggah sebuah foto atau video yang mengandung unsur pornografi.

Kedua, pencegahan selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan kampanye sosial, dimana kampanye sosial ini dilakukan dengan tujuan agar pemerintah bisa meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa sekstorsi ini merupakan sebuah tindakan kejahatan yang tidak bisa dianggap sepele. Yang dimana kegiatan kampanye sosial ini bisa dilakukan dengan melalui sebuah program – program di sekolah, komunitas, dan bisa juga melalui media sosial, yang di dalam kampanye nantinya harus menekankan bahwa sekstorsi ini merupakan sebuah tindakan kejahatan atau bisa dikatakan tindakan kriminal yang tidak dapat diterima dalam masyarakat. Selain memberikan pemahaman tentang sekstosi, pemerintah juga dalam kampanye sosial ini juga bisa menyampaikan tentang bagaimana cara untuk melaporkan kasus sekstorsi ini dan juga pemerintah harus memerikan dukungan bagi para korban sekstorsi dan juga diperlukannya sebuah peraturan agar korban merasa aman untuk berbicara atau melapor.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SEKSTORSI

Menurut Komnas Perempuan kejahatan sekstorsi ini masuk ke dalam kategori KSBG (Kekerasan Berbasis Gender Siber). KSBG menurut Komnas Perempuan adalah setiap tindakan kekerasan berbasis gender, yang dilakukan, didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya karena penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menyasar terhadap seorang perempuan sebagai korban karena ia seorang perempuan atau mempengaruhi secara tidak proporsional terhadap perempuan, yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat terhadap kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk atas ancaman tindakan berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik atau dalam kehidupan pribadi.

Korban sekstorsi berhak mendapatkan perlindungan dan rasa aman, seperti yang disebutkan dalam Pasal 28G ayat (1) Undang – Undang Dasar NRI 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”. Korban sekstorsi seharusnya dapat melaporkan kejahatan yang menimpanya karena berdasarkan pasal tersebut korban berhak untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya seperti apa yang diminta dan diancamkan oleh pelaku sekstorsi.

Namun jika kita lihat dalam kenyataan yang ada, banyak sekali korban dari sekstorsi ini tidak berani melapor dikarenakan mereka masih merasa adanya perasaan tidak aman, selain itu mereka juga sering merasa hal tersebut sebagai aib mereka, maka sebenarnya karena hal inilah negara memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum bagi para korban sekstorsi, agar para korba tersebut nantinya berani untuk melaporkan kejahatan sekstorsi yang menimpa mereka karena negara sudah memberikan perlindungan terhadap para korban tersebut.

Di Indonesia sendiri kita telah mempunyai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, di Indonesia terdapat lembaga negara yang menegakkan hak asasi manusia perempuan Indonesia yakni Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang juga memiliki peranan penting untuk melindungi perempuan korban kekerasan. Dimana Komnas Perempuan ini dibentuk melalui sebuah Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 1998 yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005.

Komnas Perempuan ini merupakan sebuah lembaga negara independen yang dibuat untuk penegakan hak asasi bagi perempuan yang ada di Indonesia, lembaga ini lahir karena adanya tuntutan masyarakat, khususnya perempuan dimana mereka meminta kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menangani berbagai persoalan kekerasan yang terjadi pada perempuan.

Kejahatan sekstorsi memenuhi unsur-unsur dari pasal 27 ayat (1) UU ITE tersebut yakni dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman, yang dimana dalam hal ini pelaku dari kejahatan sekstorsi ini dengan sengaja atau tanpa hak telah mengancam dan juga memeras korbannya secara elektronik di dunia maya dengan mengirimkan pesan melalui sebuah aplikasi di media sosial yang isinya nantinya akan berisikan sebuah ancaman foto atau video korban yang mengandung unsur pornografi sehingga nantinya korban akan merasa terancam dan akhirnya korban akan memenuhi apa yang pelaku inginkan. Namun di dalam UU ITE ini dia hanya mengatur tentang larangan dan juga sanksi yang akan dikenakan kepada para pelaku sekstorsi, di dalam UU ini tidak ada pasal yang mengatur tentang perlindungan hak – hak korba kejahatan sekstorsi ini.

Sekstori merupakan tindakan kekerasan berbasis gender online yang dapat mengakibatkan korban  merasakan perasaan ketidaknyamanan diri yang disebabkan oleh rasa takut dan juga rasa malu akibat perlakuan yang dilakukan oleh pelaku. Oleh karena itu diperlukan langkah – langkah pencegahan seperti dengan melalui pendekatan individu maupun dengan kampanye sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah, selain itu diperlukan juga perlindungan hukum bagi korban dari sekstorsi yang diatur dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia.

Ditulis oleh :  Sarah Natasha Hutabarat, Marasi Tua Sinaga, Brebi Hasika Saragih, Felicia Almira Irawan, Adristi Syahkirah Emeldi (Klinik Perlindungan Perempuan Dan Anak FH USU)