Adab Di Atas Ilmu

Trilogi: Kebijaksanaan, Esensi Dakwah, dan Fenomena Slogan Tentang Adab di Atas Ilmu

Ketiga hal itu kini menjadi fenomena yang ramai terlebih di media sosial, yang apabila ditarik ketiga hal itu sebenarnya mempunyai hal yang sama berkaitan.

Kebijaksanaan dan Kebenaran: Sebuah Analogi

Kebijaksanaan dapat diibaratkan sebagai air yang murni: semua orang dapat menikmatinya tanpa terkecuali. Air murni memberikan manfaat universal dan tidak menimbulkan permasalahan, sehingga keberadaannya didambakan oleh semua orang.

Berbeda halnya dengan kebenaran. Kebenaran, meskipun penting, sering kali bersifat subjektif dan dipengaruhi oleh sudut pandang individu. Jika kebijaksanaan adalah air yang murni, maka kebenaran dapat diumpamakan sebagai berbagai jenis minuman, seperti kopi. Kopi mungkin cocok bagi seseorang yang ingin tetap terjaga di malam hari, tetapi dapat menjadi masalah bagi individu yang menderita asam lambung.

Dengan analogi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kebijaksanaan selalu diterima oleh semua orang, karena sifatnya universal dan murni. Sebaliknya, kebenaran belum tentu diterima secara luas, karena setiap individu memiliki klaim dan interpretasinya sendiri. Maka, benar belum tentu bijaksana, sedangkan bijaksana sudah pasti benar, karena di dalamnya terkandung kebaikan dan keindahan yang dapat dirasakan oleh semua orang.

Esensi dakwah:

Entitas hidup secara bijaksana bukan hanya berlaku bagi sebagian kecil manusia, akan tetapi bagi siapapun itu tanpa terkecuali, sekalipun bagi pendakwah.

Dengan Maraknya fenomena dakwah pada era ini, mungkin banyak sekali yang bertanya-tanya, seperti apakah sebebenarnya esensi, karakter, dan model dakwah yang baik dan tepat yang perlu kita ambil sebagai rujukan?

Jawabnya adalah dakwah yang bijak dan kita kembalikan tolak ukur dakwah seperti apa yang telah dicerminkan oleh kanjeng rasul.

Yang mana diantara karakter nabi CVTOGEL ketika berdakwah adalah: beliau selalu membawanya secara santun, lemah lembut, bijaksana, dan penuh kasih sayang. Maka sangat disayangkan apabila ada seorang pendakwah yang telah dikilaim sebagai pembawa islam yang haq yang telah dikultuskan sebagai warosatul anbiya’ akan tetapi cara berdakwahnya bertolak belakang seperti apa yang rasulullah cerminkan, yakni berdakwah bil hikmah wa mauidhotul hasanah maka hal itu sangat disayangkan sekali.

Adab diatas ilmu, benarkah?

Dikarenakan ramainya fenomena dakwah yang kurang sesuai dengan norma agama yang rasulullah ajarkan, alhasil ramailah di media sosial sebuah slogan: bahwasanya adab diatas ilmu.

Hal itu seperti tidak tepat, karena secara tidak langsung seperti mengkerdilkan keluasan makna derajat ilmu itu sendiri.

Yang mana jika analoginya dibalik: apakah ada adab yang tanpa didasari dengan ilmu?

jawabnya tidak. bahkan untuk beradab pun kita butuh yang namanya ilmu, dua hal itu seperti halnya tali yang saling berkaitan satu sama lain yang saling berhubungan dan tak ada pemisah didalamnya. adab adalah visi, dan ilmu datang sebagai misi supaya sampai terhadap visi sebagai adab.

Lalu bagaimana jika ada pendakwah yang yang mungkin dikatakan sebagai seorang figur yang kurang sesuai dengan norma-norma adab.

jika seperti itu bisa kita katakan tak lain dan tak bukan, bahwasanya ia sebagai figur pendakwah yang tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang yang beradab sekaligus berilmu. Maka tidak bisa kita katakan bahwa ia adalah orang yang berilmu tetapi tidak mempunyai adab, bahkan untuk beradab-pun ia tidak mempunyai kapasitas ilmu terhadapnya.

Maka seyogyanya kita perlu memilah dan memilih sebijak mungkin, figur seperti apakah yang perlu kita ambil sebagai tuntunan dan sikap kita terhadap fenomena tersebut.