Ilustrasi penjual ketupat sayur

Ketupat Sayur, Penopang Kehidupan dan Ekonomi Kota

Pagi yang sibuk di Ciputat, Soleh berdiri dengan senyum hangatnya, meracik ketupat sayur, lengkap dengan tahu, telur, dan kerupuk gurih. Bukan sekadar hidangan, bagi pekerja urban yang mampir, ketupat sayur adalah awal energi dan cerita hari.

Di balik piring sederhana ini, ada kisah perjuangan yang menyatu dengan napas kota. Ketupat sayur menjadi simbol ketangguhan pedagang kecil, wajah-wajah tak kenal lelah yang menopang kehidupan urban dengan ketulusan.

Bagi mereka, ketangguhan bukan hanya pilihan, melainkan syarat hidup yang terus diuji oleh kerasnya realitas kota.

Sarapan Murah, Harapan Besar
Menurut artikel di Kompas (2024), ketupat sayur telah menjadi bagian penting dari rutinitas pekerja kelas menengah di Jakarta.

Dengan harga terjangkau sekitar Rp 12.000 per porsi, hidangan ini menarik banyak peminat. Rizal, seorang pengemudi ojek daring, mengungkapkan bahwa sarapan ketupat sayur memungkinkannya menikmati makanan bergizi tanpa mengorbankan anggaran sehari-hari.

Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2024, UMKM, termasuk penjual makanan seperti Soleh, menyumbang 61% dari PDB dan menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia.

Namun, di balik kisah ini, ada tantangan besar yang dihadapi para pedagang kecil.

Bukan hanya bagaimana mempertahankan kualitas dan harga di tengah naiknya biaya bahan pokok, tetapi juga bagaimana mereka terus beroperasi di lingkungan yang semakin kompetitif dan kadang kurang mendukung.

Tantangan di Balik Ketangguhan
Soleh dan pedagang lainnya seperti Junaidi dan Sutarno menunjukkan contoh ketangguhan yang luar biasa. Mereka bangun sebelum fajar, berbelanja bahan segar, memasak dengan sabar, dan melayani pelanggan dengan senyum.

Namun, di luar semangat itu, ada tantangan yang sering terabaikan, yakni akses pembiayaan dan digitalisasi.

Bank Indonesia mencatat bahwa banyak UMKM masih menghadapi keterbatasan dalam memperoleh modal yang memadai serta keterbatasan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan usaha mereka.

Akses ke modal menjadi masalah yang menghantui, terutama saat kondisi ekonomi tidak menentu.

Laman dari Liputan6 (2024) menyoroti bahwa keterbatasan ini membuat banyak usaha mikro kesulitan untuk bertahan, apalagi berkembang.

Banyak pedagang seperti Soleh harus mengandalkan tabungan pribadi atau pinjaman informal dengan bunga tinggi, yang bisa menjadi beban tambahan.

Digitalisasi: Pedang Bermata Dua
Di era digital, banyak bisnis beralih ke platform online untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. Tapi untuk pedagang seperti Soleh, transisi ke digitalisasi bukan hal yang mudah.

Keterbatasan pengetahuan teknologi, ditambah biaya perangkat digital dan jaringan, membuat banyak dari mereka terjebak di jalur tradisional. Padahal, dengan bantuan teknologi sederhana, potensi penghasilan mereka bisa meningkat signifikan. Dukungan pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan, agar pelatihan dan fasilitas akses teknologi menjadi lebih inklusif bagi UMKM.

Ketika bicara soal digitalisasi, saya teringat program seperti UMKM Go Digital atau program lain yang yang diinisiasi pemerintah untuk menghubungkan UMKM dengan pasar digital.

Meskipun langkah ini bagus, realitas di lapangan menunjukkan implementasinya belum merata. Beberapa pedagang bahkan merasa skeptis terhadap manfaat nyata yang mereka dapatkan.

Mengapa Kita Harus Peduli?
Mengapa kita harus peduli dengan para penjual ketupat sayur dan usaha kecil lainnya? Jawabannya sederhana, mereka adalah fondasi ekonomi perkotaan.

Tanpa keberadaan mereka, stabilitas ekonomi mikro di kota besar seperti Jakarta bisa terganggu. Tidak hanya itu, mereka juga memainkan peran penting dalam menjaga solidaritas sosial.

Seperti kata Tantan Hermansah, sosiolog UIN Jakarta, pedagang ini menjadi buffer bagi kebutuhan dasar pekerja kelas menengah, memungkinkan mereka tetap berhemat sambil memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dalam jangka panjang, keberlanjutan usaha mikro ini membantu mengurangi disparitas ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Oleh karena itu, dukungan pemerintah dan lembaga keuangan untuk memperkuat UMKM bukan hanya soal membantu bisnis kecil, tapi soal menjaga kestabilan ekonomi dan sosial kota.

Kesimpulan
Melihat perjuangan Soleh dan pedagang lainnya setiap hari mengingatkan kita bahwa kekuatan ekonomi lebih dari sekadar angka di laporan.

Ini adalah kisah nyata Epictoto mereka yang menyalakan dapur sebelum fajar, senyum di tengah keringat, dan ketupat sayur yang menjadi simbol harapan.

Dukungan yang tepat, seperti akses modal dan pelatihan digital, dapat menjadikan UMKM penopang kokoh ekonomi mikro.

Kini, waktunya kita bertanya. Apakah kita, sebagai masyarakat, sudah cukup menghargai mereka yang menjaga denyut nadi kota tetap hidup?

Atau akankah mereka tenggelam dalam kerasnya persaingan tanpa jejak dukungan nyata dari kita semua?