Penurunan Lukisan Karya

Menggugat Sopan Santun dalam Kritik di Negara Demokrasi

Masyarakat Indonesia sepertinya tidur begitu lelap. Mimpinya terlalu dalam. Kita sering berpikir bahwa diri kita berbudi luhur tinggi, sehingga untuk melayangkan protes pun harus dilakukan dengan unggah-ungguh penuh kesopanan. Lukisan Yos Suprapto yang mengkritik penguasa dengan gaya vulgar tentu tidak lolos screening moralitas bangsa Indonesia tentang kesopanan itu. Alih-alih diskursus tentang penguasa culas dan rakus bergulir, lukisan tersebut justru dianggap sebagai sebuah hinaan terhadap seorang mantan presiden Indonesia.

Lukisan Yos Suprapto memiliki konteks kritik relevan, yang jika digali lebih dalam, akan ditemukan basis realitanya dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Ini artinya, karya tersebut masih dalam koridor kritik, bukan hinaan tanpa dasar meskipun penggambaran tokoh dalam lukisan itu terlihat hina.

Lagi pula CVTOGEL , mengapa kita tidak boleh mengkritik (mantan) pemimpin negara secara tajam? Sangat absurd. Demokrasi harusnya membebaskan tiap orang untuk berekspresi, bahkan jika ekspresi itu berbentuk kritik yang keras atau menyakitkan. Demokrasi harusnya menempatkan suara rakyat pada posisi tertinggi, bukan malah menjadikan pemimpin sebagai sosok sakral yang haram dikritik dengan cara keras. Maka dari itu, undang-undang nomor 1 tahun 2023 KUHP, tepatnya Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) yang mengatur tentang penghinaan atas kehormatan atau harkat dan martabat presiden serta kekuasaan umum harusnya tidak memiliki tempat dalam negara demokrasi. Undang-undang ini sangat mudah untuk dijadikan alat represi oleh pemerintah terhadap rakyat.

Kalau sosok pemimpin saja masih dianggap sakral dan tidak boleh dihina dalam kritik, sepertinya kita tidak hidup dalam negara demokratis, melainkan negara feodal.

Obsesi terhadap sopan santun ini mengingatkan saya pada stratifikasi sosial dan politik pada masa kerajaan-kerajaan Jawa. Zaman di mana feodalisme masih berjaya. Bahasa jawa dibedakan berdasarkan tingkatan ngoko, madya, dan krama untuk memisahkan priyayi dan wong cilik. Bahasa jawa bukan hanya alat komunikasi, tapi juga alat dominasi. Penguasa, baik raja maupun bangsawan, memanfaatkan sistem bahasa dan norma sopan santun untuk meneguhkan status mereka sebagai priyayi yang dianggap berbudaya tinggi dan terdidik. Sebaliknya, orang-orang dari kelas bawah (wong cilik) dianggap kurang sopan atau tidak tahu unggah-ungguh sehingga dipandang rendah. Merdekalah orang jawa ngapak yang bisa berbahasa lebih lugas tanpa terlalu terpengaruh budaya istana Mataram yang kaku dan hierarkis.

Kita harus menerima kenyataan bahwa perilaku sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat saat ini akan selalu bersifat politis. Ia akan diasosiasikan pada kelas tertentu. Modal sosial, begitu kata Bourdieu. Sopan santun adalah modal sosial yang tercermin sebagai habitus, yaitu cara-cara berperilaku yang terbentuk dari pengalaman sosial dan budaya. Sopan santun harus diterapkan jika kita ingin diterima dan dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang terdidik atau berbudi luhur tinggi.

Sopan santun memang menjadi nilai penting dalam kehidupan sosial. Confucius melalui prinsip Wu Chang pun mengajarkan bahwa kesopanan berperan dalam mendukung keseimbangan sosial dan moralitas. Namun, dalam konteks pemerintahan yang korup dan cacat moral, nilai-nilai kesopanan justru dilanggar oleh para penguasa itu sendiri. Mereka bertindak semena-mena tanpa mempedulikan etika sosial. Beberapa contoh perilakunya dapat kita saksikan setiap hari mulai dari korupsi, menciptakan regulasi untuk kepentingan sekelompok pihak, merusak alam, nepotisme, menjadikan kursi pemerintahan sebagai alat transaksi politik, dan masih banyak lagi perilaku lain yang tidak mencerminkan budi luhur tinggi.

Hal tersebut memperjelas ketidakpedulian mereka terhadap prinsip-prinsip moral. Kritik yang dilayangkan dalam koridor kesopanan tak jarang akan diabaikan. Oleh karena itu kritik terhadap pemerintah tidak cukup hanya disampaikan secara santun, tetapi juga perlu diwujudkan dalam bentuk yang lebih tegas dan keras agar pesan tersebut benar-benar sampai dan mengundang perhatian mereka. Masyarakat harus berbicara menggunakan bahasa yang sama dengan pemerintah agar kritik dapat didengar, meski itu artinya menggunakan bahasa yang lepas dari sopan santun.

Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia enggan mengkritik pemerintah dengan keras dan cenderung tidak suka ketika muncul individu seperti Yos Suprapto yang berani mengkritik keras pemerintah tanpa mempedulikan sopan santun. Keengganan masyarakat Indonesia untuk mengkritik pemerintah secara keras mungkin salah satunya berakar pada nasionalisme buta yang melekat kuat. Banyak yang menganggap bahwa pemerintah adalah entitas sakral yang tak boleh disentuh, seolah-olah mengkritik pemerintah sama dengan merendahkan negara yang mereka cintai. Pandangan ini justru keliru. Pemerintah seharusnya dipandang sebagai instrumen politik yang bertugas menjalankan amanah rakyat, bukan simbol kehormatan yang kebal dari kritik.

Pemerintah adalah entitas yang sifatnya sementara dan bisa diganti kapan saja jika terbukti gagal menjalankan amanah yang tertuang dalam dasar negara. Oleh karena itu, kritik keras terhadap pemerintah yang abai bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap negara, melainkan tanggung jawab warga negara yang sadar akan perannya dalam menjaga demokrasi.

Selain nasionalisme CVTOGEL buta, keengganan masyarakat mengkritik pemerintah dengan keras mungkin juga muncul dari anggapan bahwa kritik yang tidak sopan akan menjadikan diri mereka amoral. Hal ini bisa dipahami mengingat nilai-nilai agama masih sangat kental di Indonesia. Namun, seperti yang sudah saya tuliskan di atas bahwa, jika kritik halus tidak pernah didengar karena dianggap tidak penting, maka tidak ada salahnya untuk kita mencoba kritik keras seperti yang dilakukan oleh Yos Suprapto. Kalaupun kritik keras ini tetap tidak didengar, setidaknya pemerintah (dan masyarakat lain) tahu bahwa telah muncul keberanian dari rakyat untuk melawan.

Untuk itu, mari kita tinggalkan obsesi terhadap sopan santun yang membelenggu. Jadikan kritik sebagai alat untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar menjaga citra atau menghormati norma usang. Hanya dengan cara ini demokrasi kita bisa bertahan dan tumbuh menjadi lebih matang.