Multum in Pauco: Menuju 75 Tahun Seminari Menengah Pematang Siantar
Multum in pauco, bermutu dalam sedikit. Peribahasa Latin ini bicara tentang manusia, secara spesifik tentang ketaklinearan antara mutu dan jumlahnya.
Relevansinya dengan simpulan di atas begini. Jumlah imam atau pastor Katolik hasil semaian SMCS memang sedikit. Namun pada jumlah kecil pastor itulah mutu terbaik imam dihasilkan dan dibuktikan.
Atau, dalam kata lain, jumlah kecil pastor itu merepresentasikan baku mutu tinggi pendidikan di SMCS. Banyak yang terpanggil tapi hanya sedikit yang terpilih.
Saya suka mengutip perumpamaan “unta masuk lubang jarum” untuk melukiskan kadar kesukaran prosesnya. Sedemikian sukarnya, baik substansi maupun durasi pendidikan, sehingga hanya seminaris yang benar-benar terpilih bisa menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan menjadi imam.
Karena itu bisa dikatakan eksistensi imam atau pastor dalam Gereja Katolik adalah representasi mutu unggul manusia Katolik, baik secara spiritual maupun sosial dan intelektual.
Begitulah, menjelang 75 tahun usianya SMCS baru menghasilkan 1,335 orang pastor. Jumlah ini hanya 20.48 persen dari total seminaris yang pernah atau sedang belajar di sekolah itu (6,520 orang) sampai 2024. Mayoritas atau 62.01 persen seminaris keluar menjadi umat awam. Selebihnya 17.52 persen kini sedang menjalani pendidikan — semoga menjadi pastor semua. [1]
Dikelola oleh Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFM Cap.), Keuskupan Agung Medan (KAM), sebagian besar (46%) pastor hasil semaian SMCS bergabung ke ordo tersebut. Sebagian cukup besar (32%) lainnya menjadi imam Projo, tanpa ordo. Selebihnya (22%) menyebar ke berbagai ordo lain yang ada di Indonesia.
Sebegitu lama berkiprah, SMCS tetap setia berpegang pada prinsip multum in pauco sebagai nilai unggul praksis pendidikan. Itu pasti bukan kesetiaan yang mudah. Terlebih di tengah godaan komersialisasi pendidikan yang menganut prinsip “murid adalah sumber uang”.
Sebagai sebuah ekosistem pendidikan calon pastor, tak ada jalan mudah bagi SMCS untuk tiba pada bentuknya yang sekarang. Sekolah ini telah dibangun dengan cara trial and error, rentetan kesalahan dan upaya perbaikan tak kenal lelah.
Kota Padang, Jumat 1 September 1950. Tepat pukul 06.00 pagi, di sebuah gedung bekas panti asuhan, sebuah Perayaan Ekaristi diadakan untuk mengawali pembukaan sekolah seminari. Perayaan Ekaristi itu dipimpin oleh Pastor Bernardinus van de Laar, OFM Cap. Pesertanya antara lain 20 orang seminaris angkatan pertama. Mereka berasal dari Tapanuli (16 orang), Simalungun (2 orang), dan Tanah Karo (2 orang).
Tepat pukul 07.30, lonceng seminari berdentang, tanda pelajaran pertama dimulai. Dengan itu Seminari Menengah Vikariat Apostolik Medan, kelak menjadi SMCS, resmi dibuka.
Waktu itu Padang masih berada di bawah Vikariat Apostolik (Keuskupan) Medan. Vicarius Apostolicus (Uskup) dijabat oleh Mgr. Mathias Brans, OFM Cap. Pendirian Seminari Padang itu diputuskannya tahun 1949, atas desakan Mgr. De Jonghe d’Ardoye, Duta Vatikan di Jakarta waktu itu.
Pastor van de Laar dan Pastor Willems, keduanya pastor tentara, memulai seminari dengan konsep yang tak jelas. Mereka tidak memikirkan seminari sebagai SMP atau SMA.
Mereka hanya berpikir seminari berfungsi mempersiapkan siswa masuk Seminari Tinggi, untuk selanjutnya menjadi imam. Untuk itu pendidikan terfokus pada pelajaran Bahasa Latin, Agama, Liturgi, pengembangan kepribadian, dan penegakan disiplin.
Persis di situlah letak kesalahannya. Penerimaan 20 seminaris itu ternyata tidak melalui ujian seleksi. Siapa saja yang mau menjadi pastor, tanpa pandang usia dan latar pendidikan, langsung diterima. Syaratnya cuma persetujuan orangtua, voorhanger, dan guru sekolah.
Akibatnya profil siswa menjadi sangat variatif. Dari segi usia, ada yang 14 tahun ada pula 20 tahun. Latar pendidikannya sebagian lulusan SD dan sebagian lagi keluaran kelas satu dan dua SMP. Bahkan ada yang sudah sempat belajar di Opleiding Voor Volksonderwijzers (OVVO, sekolah guru).
Benar saja, dua minggu kemudian proses belajar mandeg. Sebab mustahil mengajarkan materi yang sama kepada murid dengan latar belakang tak setara, tanpa mengorbankan salah satu kelompok.
Solusinya, seminaris disuruh belajar di SMP Katolik, Padang. Hanya pelajaran Bahasa Latin, Bahasa Belanda, Agama, dan Liturgi dipelajari di asrama seminari.
Sebulan kemudian diambil kebijakan baru. Semua seminaris, kecuali yang sudah pernah belajar di OVVO, disetarakan menjadi kelas Probatorium (Persiapan) dan belajar di seminari. Akibatnya siswa yang sudah pernah belajar di SMP patah semangat. Timbul ketidak-puasan, lalu dua siswa keluar dari seminari.
Keadaan mulai membaik setelah Pesta Natal 1950 dan tambah baik setelah Paskah 1951. Libur Natal dan Paskah seminaris tidak pulang, tapi ekskursi ke Lapangan Terbang Tabing dan Pabrik Semen Indarung. Para seminaris tambah bersemangat. Disiplin mulai terbentuk, semangat kerja bangkit, dan kesalehan mulai tampak.
Tahun kedua (1951/1952) dimulai dengan optimisme. Penerimaan siswa baru melewati proses seleksi. Total diterima 33 orang seminari baru. Probatorium 15 orang, kelas satu 17 orang, dan kelas dua 1 orang. Salah seorang di antara siswa baru itu adalah Alfred Gonti Pius Datubara, kelak menjadi uskup pribumi pertama (1976-2009) di Keuskupan Agung Medan.
Pengorganisasian seminari pada tahun kedua bertambah baik berkat dukungan tenaga baru yaitu Pastor Crispinianus Theeuwes, OFM Cap. Pastor Theeuwes berpengalaman 14 tahun sebagai guru dan prefek (kepala sekolah) Seminari Kapusin di Belanda.
Pastor Theuwees memperkenalkan sejumlah kegiatan baru untuk seminaris. Antara lain kepanduan, sandiwara, berenang, dan “jalan panjang” (long march) 50 km. Tiga kegiatan tersebut terakhir kemudian menjadi tradisi di seminari.
Tradisi lain, yang ditanamkan sejak awal terbentuknya seminari, adalah kerja bakti. Mengolah kebun sayur, merawat pekarangan, dan membersihkan asrama dilakukan secara bersama. Selain untuk membentuk disiplin, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk membentuk sikap sederhana dan rendah hati pada seminaris.
Tahun ajaran ketiga (1952/1953) dan keempat (1953/1954) semakin menemukan bentuknya. Jumlah seminaris baru juga meningkat: 36 orang tahun 1952 dan 60 orang tahun 1953.
Bulan Oktober 1952 Duta Vatikan, Mgr De Jonghe d’Ardove datang berkunjung. Berpidato dalam Bahasa Latin, dia menekankan tiga nilai utama pendidikan seminari: pietas (kesalehan), sapientia (kebijaksanaan), disciplina (tata-tertib).
Suatu perubahan cukup drastis dilakukan pada tahun ajaran keempat. Atas anjuran Pastor Ferreius van den Hurk, OFM Cap, Superior Kapusin Medan, kurikulum seminari disesuaikan dengan kurikulum sekolah negeri. Dengan begitu siswa kelas tiga boleh ikut ujian akhir SMP Pemerintah dan kelas enam ikut ujian akhir SMA Pemerintah.
Bersamaan dengan itu nama-nama kelas juga diganti menjadi nama khas Seminarium Minus: Prima (Kelas 1 SMP), Secunda, Tertia, Grammatica, Syntaxis, Poesis (Kelas 3 SMA), Rhetorica (Kelas 7, peralihan ke Seminari Tinggi), dan Probatorium (kelas persiapan).
Sementara itu Congregation Propaganda Fidei di Roma telah memutuskan untuk mengeluarkan daerah Sumatera Barat dari wilayah Vikariat Apostolik Medan dan menjadikannya Praefectura Apostolica Padang.
Karena itu Seminari Menengah Vikariat Apostolik Medan harus dipindahkan dari Padang ke Sumatera Utara. Sebuah gedung seminari dengan kapasitas 150 siswa kemudian berhasil dibangun di ata1s lahan 8 ha di Jalan Lapangan Bola Atas, Pematang Siantar.
Ketika tanggal 12 Juni 1954 para seminaris pulang kampung untuk libur panjang, maka “Masa Padang” telah usai. Saat liburan usai, mereka berkumpul ke Seminari Menengah Siantar, di mana para pastor dan guru telah menunggu mereka. “Masa Siantar” dimulai dengan ucapan “Procedemus in Pace” (Mari kita maju dengan damai) dalam buku catatan Pastor Van de Laar.
Sanctitas, Scientia, Societa, et Sanitas,
Pada awalnya prinsip multum in pauco itu merujuk pada tiga nilai seminari, seperti ditegaskan Mgr. De Jonghe, yaitu pietas, sapientia, dan disciplina. Dengan pietas dimaksudkan adalah kesalehan — mencakup kasih, kesetiaan, dan ketaatan kepada Tuhan.
Sapientia merujuk pada rasionalitas dan kebijaksanaan berdasar sains atau ilmu-pengetahuan. Sedangkan disciplina menunjuk pada pengendalian diri dan keteraturan dalam hidup.
Eloknya tiga nilai seminari yang disampaikan Mgr. De Jonghe tahun 1952 itu ternyata dipertegas dalam dokumen Optatam Totius (Yang Diinginkan Bagi Seluruh Gereja, “Dekrit tentang Pembinaan Imam” dari Konsili Vatikan II yang diterbitkan 13 tahun kemudian (28 Oktober 1965).
Hingga kemudian tahun 1992 Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Pastores Dabo Vobis (Gembala-Gembala Akan Kuangkat Bagimu). Dokumen “Anjuran Apostolik tentang Pembinaan Imam dalam Situasi Zaman Sekarang” (25 Maret 1992) ini menetapkan empat nilai utama kehidupan seminari yaitu humanitas, spiritualitas, intelektualitas, dan penggembalaan (pastoral).
Proses formasi imam di semua seminari, termasuk SMCS tentu saja, kemudian difokuskan pada empat nilai itu. Pendidikan seminari diarahkan pada pembentukan calon pastor sebagai manusia yang seimbang, saleh, terpelajar, dan efektif sebagai (kelak) imam Katolik.
Itulah yang dimaksud dengan kata multum dalam frasa multum in pauco. Kata pauco menunjuk pada jumlah kecil “yang terpilih” mencapai tingkatan itu.
Penjelasannya secara ringkas begini. Sanctitas merujuk pada spiritualitas atau secara spesifik kesalehan. Scientia menunjuk pada intelektualitas atau rasionalitas berdasar sains.
Societa itu menyangkut kepekaan rasa, bela rasa, atau merujuk pada nilai-nilai humanitas — khususnya keluhuran budi, kedewasaan emosional, kepemimpinan, dan komunikasi — dan pada individu (calon) imam. Sedangkan sanitas merujuk pada kesehatan jiwa-raga, rohani dan jasmani.
Program pendidikan, kurikuler dan ekstra-kurikuler, di SMCS dengan demikian didisain untuk mendukung formasi imam yang memenuhi baku mutu sanctitas, scientia, societa, dan sanitas.
Setiap hari sejak dari bangun tidur pukul 05.00 subuh sampai naik ke peraduan pukul 23.30 malam, setiap kegiatan dirancang untuk pembentukan empat nilai itu dalam diri seminaris.
Garis besarnya begini. Mulai dari subuh. Bangun lalu buang hajat, cuci muka, dan sikat gigi (sanitas). Lanjut Misa pagi di kapel (sanctitas), disambung belajar mandiri pagi (scientia). Setelah itu sarapan pagi dan cuci piring (sanitas), dilanjutkan pelajaran di kelas (scientia) sampai siang. Setelah makan siang dan cuci piring (sanitas), ada pilihan untuk tidur siang atau cuci/seterika pakaian sendiri (sanitas).
Sore hari sampai malam. Ada pelajaran di kelas lagi (scientia), sebelum olah raga sore (sepakbola, volly, basket, bulutangkis) atau kerja bakti membersihkan lingkungan atau merawat kebun/ternak (sanitas dan societa).
Sore setelah mandi, doa di kapel (sanctitas) dilanjut makan malam (sanitas), belajar mandiri (scientia) dan rekreasi (societa dan sanitas), lalu ditutup dengan doa malam di kapel (sanctitas) sebelum tidur.
Di sela kegiatan rutin itu, tentu ada ragam kegiatan terprogram sebagai bagian dari pembentukan empat nilai tadi pada diri seminaris. Antara lain bisa disebutkan wajib baca buku fiksi dan rohani (scientia dan sanctitas), kompetisi olahraga dan seni (societa dan sanitas), retret/rekoleksi dan pengakuan dosa (sanctitas), musik liturgi (sanctitas), majalah (societa), kunjungan stasi/umat (societa dan sanctitas), serta wisata, long march dan outing (societa dan sanitas).
Merujuk visi SMCS, semua itu dilakukan untuk “menghasilkan calon-calon imam unggul dan mandiri yang berdampak bagi gereja dan masyarakat.” Unggul di situ, sesuai misi SMCS, menunjuk pada kualitas tangguh dan militan. Tentu dalam koridor nilai-nilai sanctitas, scientia, societa, dan sanitas.
Proses pendidikan seminari itu tak pernah mudah, baik bagi para pastor pengelola dan guru pengajar maupun bagi para seminaris. Ada sakit, lelah, jemu, kecewa, marah, sedih, dan air mata seminaris dalam menjalani pesemaian panggilannya. Disamping, tentu saja, juga ada tawa gembira, semangat, kerjasama, kebanggaan, dan solidaritas antar seminaris.
Tapi begitulah dinamika seminari. Secara bergurau para seminaris menyebut SMCS itu sebagai “penjara kudus”, mengingat ketatnya disiplin hidup di asrama terkait formasi sanctitas, scientia, societa, dan sanitas.
Dalam istilah yang rada alkitabiah, perjuangan seminaris itu semacam “jalan salib”. Hanya sejumlah kecil seminaris yang kuat menjalaninya hingga tiba di “puncak Golgota”.
Santo Fransiskus Asisi dan Laudato Si’
Sepanjang perjalanan menuju usia 75 tahun, bisa dibuat daftar masalah yang menerpa SMCS berikut upaya-upaya mengatasinya. Dari berbagai masalah yang ada, tiga masalah berikut masih menanti solusi terbaik.
Pertama, adanya kecenderungan penurunan jumlah penerimaan siswa seminari dalam 10 tahun terakhir. Bukan karena pembatasan kuota, semisal karena sejak 1990-an SMCS menutup kelas SMP dan hanya membuka kelas SMA. Tapi lebih karena menurunnya jumlah siswa pendaftar dari kalangan remaja Katolik Keuskupan Agung Medan (KAM).
Pengelola SMCS sudah berupaya promosi panggilan secara “jemput bola” ke gereja-gereja di berbagai paroki sewilayah KAM. Tapi karena keterbatasan tenaga, waktu, biaya, dan metode, hasilnya belum tampak signifikan.
Kedua, masalah keterbatasan anggaran. Ini masalah klasik untuk setiap sekolah yang mengedepankan idealisme, seperti SMCS dengan prinsip multum in pauco.
Sejujurnya, sangat besarlah biaya yang dibutuhkan untuk formasi imam Katolik. Pembentukan nilai-nilai sanctitas, scientia, societa, dan sanitas pada diri seminaris harus dilakukan lewat banyak program yang bersifat terpadu. Itu semua perlu biaya yang tak sedikit.
Mungkin pembentukan dana abadi seminari bisa menjadi solusi. Tapi jalan realisasinya memerlukan kesepakatan antar berbagai stakeholder SMCS. Juga mempersyaratkan pengembangan SMCS sebagai sebuah ekosistem sosial.
Ketiga, belum jelas apa keunikan yang menjadi nilai unggul SMCS sebagai sebuah institusi pendidikan calon pastor. Nilai-nilai sanctitas, scientia, societa, dan sanitas tidak bisa dibilang sebagai keunikan. Semua seminari menengah memiliki nilai semacam itu, karena semua merujuk pada empat nilai seminari menurut Pastores Dabo Vobis.
Bedanya di SMCS penanaman nilai-nilai itu diarahkan pada formasi imam OFM Kapusin yang hidup rohaninya bertumpu pada tiga sokoguru yaitu doa, kemiskinan, dan cinta-kasih. Tiga sokoguru ini meneladan perihidup Santo Fransiskus Asisi, pendiri OFM Kapusin.
Tapi jika diperiksa lebih jauh pilar doa, kemiskinan, dan cinta-kasih itu tidak eksklusif Fransiskan juga. Ordo-ordo lain juga menganutnya. Hanya saja, pada ordo lain, ikhwal kemiskinan kerap dinarasikan sebagai kesederhanaan.
Semestinya nilai-nilai hidup Santo Fransiskus Asisi itulah yang menjadi sumber keunikan sekaligus keunggulan SMCS. Tapi kalau seseorang berkeliling komplek SMCS, dia tidak akan menemukan patung atau gambar Santo Fransiskus Asisi di sana. Juga tidak akan menemukan kata-kata inspiratif darinya, semisal “Beritakanlah Injil setiap saat, gunakan kata-kata jika perlu.”
Satu gagasan yang sangat mendasar, bahkan subversif, dari Santo Fransiskus Asisi adalah pandangannya tentang “keutuhan ciptaan”. Bagi Fransiskus, bumi adalah rumah bersama bagi semua makhluk yang setara sebagai ciptaan Tuhan.
Demikianlah manusia bukan penguasa, melainkan saudara bagi seluruh makhluk hidup dan unsur-unsur alam seperti matahari, bulan tanah, dan air. Karena itu manusia harus berkomunikasi dengan makhluk-makhluk bumi lain untuk bisa berperilaku konservatif, saling menjaga kelestarian bumi sebagai rumah bersama.
Gagasan Fransiskus itu telah menjadi inti substansi Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si’, Terpujilah Engkau Tuhanku (24 Mei 2015). Frasa Laudato Si’ itu diambil dari syair pujian Gita Sang Surya, gubahan Fransiskus Asisi.
Ensiklik tersebut merupakan kritik Paus Fransiskus terhadap krisis lingkungan alam. Krisis itu dijelaskan sebagai dampak eksploitasi berlebihan demi pemenuhan tuntutan keserakahan dan konsumerisme manusia.
Krisis lingkungan dalam pandangan Paus adalah juga indikasi ketidakadilan sosial, khususnya berupa penyingkiran dan perampasan hak-hak ragam kelompok masyarakat marjinal.
Melalui ensiklik itu Paus Fransiskus mengajak dunia untuk bergerak bersama, seturut kemampuan masing-masing, untuk merawat keutuhan ciptaan yaitu bumi dan segala isinya sebagai rumah bersama.
Sebagai sebuah seminari yang dikelola kongregasi OFM Cap, sudah selayaknya mempertimbangkan artikulasi Laudato Si’ sebagai keunikan sekaligus nilai unggul SMCS. Gagasan Laudato Si’ dapat dipertimbangkan sebagai benang merah nilai-nilai sanctitas, scientia, societa, dan sanitas dalam rangka formasi (calon) imam di SMCS.
Implikasinya substansi Laudato Si’ akan menjadi unsur differensiasi untuk kurikulum, lingkungan, peri hidup, dan interaksi sosial di SMCS. Lalu, pada akhirnya, Laudato Si’ akan menjadi nilai unggul, atau bobot khusus multum (in pauco) pada calon imam dan imam hasil semaian SMCS.
Tiga masalah di atas, yaitu jumlah seminaris, anggaran, dan terutama nilai unggul SMCS tidaklah cukup dibahas dan disampaikan solusinya lewat sebuah artikel sumir seperti ini.
Untuk mengupasnya tuntas, sekaligus menemukan solusi strategis dan praktis, lebih tepat mengadakan sebuah lokakarya pengembangan SMCS dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait.
Ketimbang pesta besar Jubileum 75 tahun, saya pikir sebuah lokakarya pengembangan semacam itu lebih bermanfaat untuk masa depan SMCS , Gereja Katolik, dan bangsa Indonesia. (eFTe)