Pemain Diaspora dan “Strategi Terbalik” PSSI
Bicara soal proses pembinaan pemain dalam sepak bola, biasanya ini adalah satu proses sejak usia muda. Di negara-negara raksasa sepak bola seperti Brasil, Jerman, dan Argentina, pembinaan pemain bahkan sudah dimulai sejak usia muda.
Idealnya, ini adalah satu elemen penting, dengan tim nasional sebagai muaranya. Tapi, ini sudah lama belum berjalan dengan sistem runtut yang baku.
Akibatnya, meski selalu punya talenta lokal menarik di tiap generasi, mereka tidak pernah benar-benar “berbuah” di usia matang, karena berhenti berkembang saat masih jadi bakat mentah.
Terlepas dari masalah cedera, mentalitas “jago kandang” atau perkara disipliner yang biasa muncul, sistem pembinaan pemain muda yang konsisten terlupakan telah menghasilkan tim nasional yang justru cukup sukses membuat publik sepak bola nasional “terlatih patah hati”, terutama di level Asia Tenggara.
Ketika masalah ini diidentifikasi PSSI era Erick Thohir, upaya merintis sistem pembinaan pemain muda kembali dihidupkan, dan semakin mendapat angin segar, ketika Presiden Prabowo Subianto merintis Garudayaksa Football Academy, sebagai bagian dari upaya mengejar mimpi membawa Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia.
GFA yang dirintis pada tahun 2023, atau saat sang Presiden masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan menjadi satu dari beberapa upaya membina potensi bakat lokal, selain mengadakan kompetisi usia muda atau mengikuti turnamen usia muda di luar negeri, seperti Piala Danone.
Tapi, pembinaan pemain muda dari bawah, adalah satu hal yang butuh waktu lama untuk berbuah. Untuk mencetak satu generasi pemain yang cukup matang, dibutuhkan waktu 10-15 tahun.
Itu baru satu generasi. Tingkat Epictoto kesulitannya akan semakin rumit dan butuh waktu lebih lama, jika ingin mencetak superstar atau generasi juara.
Brasil saja butuh waktu puluhan tahun untuk menemukan bintang juara Piala Dunia seperti Ronaldo, Ronaldinho, dan Romario, jauh setelah generasi Pele lewat. Argentina juga butuh waktu puluhan tahun, sebelum akhirnya menemukan penerus sejati Diego Maradona dalam diri Lionel Messi.
Masalahnya, proses sepanjang itu tidak pernah benar-benar berjalan ideal di Indonesia, karena ekspektasi tinggi (yang bahkan sudah ada sejak prediksi pertandingan) telah membuat kesabaran yang ada jauh lebih tipis, dari selembar tisu dibagi sepuluh.
Maka, tidak mengejutkan ketika PSSI lalu mendatangkan pemain diaspora Indonesia ke tim nasional, baik senior maupun junior, juga di sepak bola putri. Meski terbalik dibandingkan cara idealnya, ini relevan dan cukup bisa dimengerti.
Kebetulan, Erick Thohir, ketua umum PSSI kali ini, adalah orang yang pernah menjadi pemilik klub Inter Milan (Italia). Jadi, ia punya wawasan yang dibutuhkan di tingkat nasional, termasuk dalam memahami keberadaan pemain diaspora di tim nasional, yang sebetulnya sudah menjadi fenomena global.
Dengan “pendekatan terbalik” ini, ada satu pembelajaran berharga, yang seharusnya bisa dijalankan di tingkat nasional. Masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki, karena untuk bisa bersaing (atau minimal tak jadi bulan-bulanan) di level Asia, dibutuhkan standar kualitas yang cukup tinggi, dan standar itu masih belum ada di level nasional.
Kalau aspek dasar seperti pola makan dan teknik mengoper bola saja masih belepotan, jangan berharap banyak pada aspek tingkat lanjut seperti stamina dan taktik.
Dari sini, “pendekatan terbalik” ala PSSI seharusnya bisa memacu gairah pembinaan pemain muda di dalam negeri. Jadi, potensi yang selama ini banyak dibahas (akhirnya) bisa digarap maksimal.
Ketika gairah itu ada, PSSI juga perlu menyiapkan sistem pembinaan dan sumber daya yang memadai, supaya momentum yang ada tak berakhir jadi angin lalu seperti biasa.
Kalau semua sudah siap, biarkan prosesnya berjalan, dan setelah pemain berkualitas bisa konsisten dihasilkan, pemain diaspora pelan-pelan bisa digeser dari menjadi opsi tambahan.
Sampai saat itu tiba, kita hanya perlu melihat, apakah PSSI benar-benar membenahi sistem pembinaan di dalam negeri, atau hanya “kecanduan” pemain diaspora Indonesia, tanpa melakukan upaya serius dalam pembinaan pemain muda.
Selebihnya, kita nikmati saja aksi tim yang ada sekarang, karena merekalah generasi yang bisa membawa Tim Garuda menapak level Asia, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.
Kalau ternyata ada kemajuan lain di masa depan, berarti, Timnas Indonesia akan semakin kuat menanggung ekspektasi tinggi, karena sudah bisa mengubah tekanan besar menjadi pelecut semangat tanding.